![]() |
Sederhanya, penelitian adalah aktifitas
mencari dan menemukan suatu kebenaran, baik yang sudah diketahui—untuk
menemukan fakta baru atau membantah fakta lama, maupun yang belum diketahui
sama sekali. Setidaknya ada dua aktifitas dalam penelitian, yakni mencari dan
menemukan.
Ada anggapan bahwa penelitian haruslah
baru. Anggapan seperti ini kurang tepat. Namun, sebagai kebijakan, perguruan
tinggi terkadang sengaja membatasi suatu penelitian agar lebih banyak lagi
kebenaran yang terungkap dan lebih banyak lagi tabir rahasia yang tersingkap.
Andaipun kita ingin meneliti pada objek
yang sama, ada baiknya kita melakukannya dengan cara atau menggunakan variabel yang
berbeda guna memperkaya perspektif maupun wacana. Meskipun demikian, menguji
sesuatu yang telah diuji tidaklah terlarang.
Hal ini karena terkadang perubahan
begitu cepat terjadi. Terlebih pada penelitian yang didasarkan pada rentang
waktu tertentu, dapat dikaji lagi pada rentang waktu yang berbeda. Sebab, penelitian
seperti ini biasa akan tergerus oleh laju waktu yang begitu cepatnya.
Lantas, untuk apa kita meneliti? Apa
yang kita cari dan bersusah payah kita temukan? Lalu, bagaimana harusnya kita
menyikapi suatu hasil penelitian? Pertanyaan inilah yang akan diulas secara
sederhana dalam artikel kali ini.
Penelitian berupaya menemukan suatu
kebenaran. Kebenaran ini ada yang basisnya penalaran, ada pula kebenaran yang
berdasarkan nonpenalaran seperti wahyu. Kebenaran non-penalaran itu sendiri
sebenarnya adalah penalaran dalam kategorinya tersendiri.
Kebenaran juga kerap diklasifikasi
berdasarkan teori seperti kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, dan
kebenaran pragmatik. Menurut teori koherensi suatu pernyataan/premis akan dianggap
benar bila pernyataan itu bersifat logis (masuk akal) dan konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Teori korespondensi memandang kebenaran
sebagai sesuatu yang sesuai dengan fakta empirik. Pernyataan/premis dianggap
benar jika materi pengetahuan yang terkandung berkorespondensi (berhubungan)
dengan objek yg dituju dlm pernyataan tersebut (benar secara faktual/empirik).
Sedangkan menurut teori pragmatik,
pernyataan/premis akan dianggap benar jika memiliki kegunaan (manfaat) dalam
kehidupan manusia. Kebenaran semacam ini sangat bergantung pada tempat (ruang)
dan waktu. Karenanya, apa yang dianggap benar hari ini, pada tempat atau waktu
berbeda, pernyataan/premis tersebut bisa jadi salah.
Kembali kepada persoalan, kebenaran yang
hendak dicapai dalam suatu penelitian boleh saja bergantung pada ketiga teori tersebut.
Kita dapat mencermati kecenderungannya ke mana. Biasanya kecenderungan itu bergantung
pada model penelitian dan bidang kajiannya.
Penelitian hukum normatif biasanya akan condong pada model
kebenaran aksiomatik atau koherensi. Sedang penelitian biologi, sosiologi,
dan ilmu lain yang empirik tentu akan condong pada model kebenaran
korespondensi. Bagaimanapun kecenderungan itu tetap dalam payung kebenaran
ilmiah.
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang
didasarkan pada variabel dan metode ilmiah tertentu—karenya disebut pula dengan
kebenaran metodologis. Artinya, kebenaran ilmiah sangat bergantung pada cara
dan variabel yang digunakan dalam penelitian.
Kebenaran di sini bukanlah dalam arti
harus diterima oleh semua orang, melainkan kebenaran yang berpulang pada
perspektif, variabel, dan metode yang digunakan tadi. Namanya juga ilmiah yang
asal katanya adalah ilmu, tentu berwatak kognitif; dapat dibantah kapan saja.
Bahwa peneliti hendak mengusulkan hasil
temuannya sebagai apa yang harusnya kita terima, itu persoalan lain. Seorang
peneliti boleh saja sampai pada level merekomendasikan, namun tugas pokoknya
adalah mencari dan menemukan kebenaran yang kemudian secara moral harus ia
sampaikan/jelaskan.
Hasil penelitian boleh saja berbeda dari
apa yang selama ini telah kita yakini, namun ia tidak boleh bohong. Peneliti
harus menyampaikan secara jujur apa yang ia temukan. Pada level berikutnya,
walau menolak kebenaran yang peneliti temukan, kita sebagai pembaca harus tetap
menghormati kejujuran yang ia sampaikan.
Kalaulah hasil
penelitian harus sejalan dengan apa yang telah diyakini, ngapain kita meneliti? Justru penelitian memang kerap membantah
apa yang selama ini telah kita yakini. Secara sederhana, dulu orang percaya
bahwa bumi itu datar. Sekarang, meski masih ada yang percaya, namun mayoritas
kita percaya sebaliknya.
Jika ternyata hasil penelitian itu berbanding
terbalik dengan apa yang kita yakini, itulah konsekuensi meneliti. Kita
berangkat dari asumsi, lalu mencari, dan akhirnya menemui. Setelah menemui, boleh saja menjadi
meyakini (mempercayai). Adapun yang berasal dari keyakinan, itu pengamalan
namanya.
Anehnya, banyak
dari kita yang tidak paham ini. Ilmu dan iman kita campur-adukkan hingga
bingung membedakan keduanya. Kadang iman kita anggap ilmiah, kadang ilmu kita
perlakukan layaknya keimanan—eksklusif dan tidak mungkin salah.
Akhirnya, kita
hanya mengulang-kaji tanpa pembaruan. Alih-alih meneliti, kita sebenarnya
sedang beralibi; hanya mencari alasan dan pembenaran belaka. Lalu, untuk apa
kita meneliti? Untuk apa kita capek-capek cari data sana-sini?
Semestinya, kalau
cara kerja ilmu tidak kita percayai, jangan jadikan ia sebagai alat untuk
melakukan pembenaran. Ditolak ya ditolak saja, ngapain pakai acara menyodorkan
disertasi? Sederhananya, jika anda menolak kebenaran ilmu, ngapain pakai ilmu
untuk menjelaskan/membenarkan keimanan anda?
Tapi, jika kita
percaya dengan cara kerja ilmu, membantah produk ilmu malah sangat dianjurkan.
Bantah-membantah ini yang mengantarkan kita pada yang paling benar. Bayangkan
jika tidak ada bantah-membantah, kita tidak mungkin keluar dari zaman batu.
Bagaimana
membantahnya? Adakanlah penelitian baru! Jangan yang satu pakai bahan/data yang
telah diolah, yang satu pakai keimanan dan kesepakatan. Yang satu menjelaskan
sambil memberi bukti, yang satu pakai dalil "pokoknya". Mana ketemu.
Alhasil, meski
penelitian berusaha menemukan kebenaran, namun iyanya tidak mesti harus
diyakini, terlebih menempatkannya layaknya keimanan. Namun, jika hendak
membantah kebenarannya, adalah tidak fair sekiranya kita menggunakan dalil “pokoknya”.
Bahkan keimanan sejati tidak diraih dan diekspresikan dengan cara seperti itu. Iman itu melampaui ilmu; lebih tinggi dari ilmu, bukan sebaliknya. Iman itu setelah ilmu. Bukankah kita meyakini sesuatu setelah mengetahuinya?
Bahkan keimanan sejati tidak diraih dan diekspresikan dengan cara seperti itu. Iman itu melampaui ilmu; lebih tinggi dari ilmu, bukan sebaliknya. Iman itu setelah ilmu. Bukankah kita meyakini sesuatu setelah mengetahuinya?