![]() |
Lembaran Pengesehan Tesis |
Ketika saya memutuskan
melanjutkan studi S2 di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia (PPs FH UII), tentu banyak keraguan di sana. Berbagai pertanyaan
bergejolak di kepala. Di antara pertanyaan itu adalah mengenai biaya, "dari
mana biaya studi yang lumayan besar itu saya dapat?" Mungkin ada pula yang
meragukan apakah saya benar-benar melanjutkan studi atau tidak. Jikapun benar
saya melanjutkan studi, apa mungkin saya bisa menyelesaikannya dengan kapasitas
dan keuangan yang kurang?
Keraguan demi keraguan
muncul dalam bentuk pertanyaan. Terus terang, pertanyaan itu justru melemahkan
dan menghambat keinginan saya. Tapi, apakah pertanyaan bisa dihambat begitu
saja? Tidak. Pertanyaan justru akan terus menghantui sampai jawaban membuatnya
sirna. Tapi, jawaban atas pertanyaan tidak selalu hadir dalam bentuk
penjelasan. Terkadang, jawaban justru hadir dalam bentuk pertanyaan. Dan pertanyaan
yang membuat saya yakin adalah, “Kenapa saya harus ragu?”
Ya, mengapa harus ragu
jika tekad masih ada, niat baik masih bersemayam, dan aku nyatanya masih hidup.
Hidup adalah bukti bahwa rezeki manusia masih ada. Begitu keyakinanku. Tanpa memperpanjang
cerita, waktu itu uang muka dan semester pertama memang ada. Aku bisa
mendaftar. Itulah yang kulakukan hingga Tuhan menyatakan aku diterima. Dalam perjalanan
memang terkadang ada kalanya kurang
uang, makan apa adanya, keinginan ini itu harus distop, dan sebagainya. Tapi
saya ternyata bisa lulus dan sudah menyandang gelar S2.
Begitulah kurang lebih
keadaan saya ketika memutuskan untuk lanjut ke jenjang S2. Berikut ini sedikit
gambaran bagaimana proses sidang yang menentukan kelulusan saya beberapa hari
lalu. Nah, proses ini juga bukan perkara yang sederhana. Ketika saya hendak
mendaftar ujian tesis (sidang munaqasyah), siang harinya saya justru ke
Jakarta untuk mempertanyakan status pendaftaran PNS dan ujian saya, apakah
boleh mengikuti seleksi kompetensi dasar (SKD) atau tidak. Saya dibolehkan ikut
SKD di Jakarta, tapi tidak lulus. Sedangkan seorang teman yang tidak lengkap
syaratnya malah tidak mau bertanya dan memutuskan untuk tidak ikut tes sama
sekali.
Beberapa saat setelah tes
kompetensi dasar itu, sms dari pihak pasca datang. Mereka mengatakan bahwa
jadwal sidang saya tanggal 19 dan 20 Oktober 2017. Saya masih di Jakarta ketika
itu. Saya balik dan lusanya langsung sidang. Tanggal 19 malah dicancel dan
diganti ke tanggal 24 Oktober. Pada tanggal tersebut, tiba-tiba disms lagi
bahwa sidang ditunda hingga tanggal 27 Oktober. Masalahnya, Pasca sendiri sudah
menetapkan bahwa terakhir daftar wisuda adalah tanggal 26 Oktober. Betapa bingungnya
saya kala itu. Tiket pesawat ayah saya sudah dibeli. Ada pula teman yang sudah
membeli tiket dan berniat hadir di wisuda saya.
Entah bagaimana, 27
Oktober itu dicancel lagi. Beruntungnya, hal tersebut dikabarkan di tanggal 24, tepat
di jadwal sebelumnya. Akhirnya saya sidang terakhir kalinya di jadwal yang
sebelumnya sudah diagendakan. Di situlah akumulasi nilai dilakukan. Ada perasaan
cemas di mana persiapan sidang memang kurang matang. Tapi, namanya tesis dibuat
sendiri, tentu isinya dikuasai. Selama sidang, ada banyak pertanyaan yang
diajukan. Jawaban-jawaban saya akan menentukan berapa nilai yang pantas diberikan.
"Jadi, menurut anda,
apakah Qanun Jinayah Aceh merugikan umat muslim?" tanya penguji yang juga
merupakan pembimbing saya, Dr. Drs. Rohidin, S.H., M.Ag. Ini salah satu
pertanyaan yang diajukan. Selain beliau, saya juga diuji oleh Drs. Agus
Triyanta, M.A., M.H., Ph.D dan Dr. M. Arief Setiawan, S.H., M.H. Jika satu
penguji menanyakan 3 saja pertanyaan, berarti saya harus menjelaskan sekurangnya
9 pertanyaan. Lamanya saya diuji mungkin sekitar dua jam lebih.
Adapun pertanyaan di atas, kiranya memang agak keluar dari inti penelitian saya yang mencari dan menilai
relevansi suatu prinsip pemidanaan. Cuma, relevan atau tidaknya prinsip
pemidanaan terhadap prinsip di atasnya (Ketuhanan YME) tentu berpengaruh pada merugikan atau tidaknya bagi
masyarakat, baik muslim maupun non-muslim. Karena ditemukannya
ketidaksesuaian prinsip pemidanaan dalam Qanun terhadap sila Ketuhanan YME,
maka qanun tersebut berpotensi mengancam HAM dan ujungnya bermuara pada
ketidakadilan dan kedhzaliman. Islam sendiri tentu menolak qanun yang
membeda-bedakan dan melanggar HAM seseorang.
Jadi, tidak hanya
non-muslim, muslim di Aceh juga dirugikan dengan qanun tersebut. Hanya saja,
qanun ini kerap diasumsikan sebagai bagian dari syariat Islam, maka sikap orang-orang
di sana cenderung mendengar dan taat (sami'na wa atha'na). Padahal, syariat itu
adalah tujuan yang harus dicapai, bukan diklaim. Presentasi tesis serta
jawaban-jawaban saya atas pertanyaan penguji akhirnya membuahkan hasil yang
relatif sama ketika saya di S1, mungkin lebih baik. Dr. M. Arief Setiawan,
S.H., M.H membacakan hasil perundingan dan akumulasi nilai yang mereka berikan
dan menyatakan saya lulus tanpa perbaikan. "Anda dinyatakan lulus dengan
nilai rata-rata 90 atau sama dengan A. Selamat!"
Pembacaan hasil sidang
tesis itu juga menandakan bahwa saya resmi menjadi Alumni Program Pascasarjana
Fakultas Hukum UII, tertenggal 24 Oktober 2017 beberapa hari lalu. Tentu saya
harus mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak. Mustahil menyebutnya satu
persatu. Terima kasih buat ayah dan ibu tercinta, Syarifuddin dan Siti Zahara.
Terima kasih buat semua yang mendukung, baik formil maupun materil hingga
akhirnya selesai studi S2 saya dalam tempo 18 bulan lamanya.
#AlumniUII #FHUII #PPs #MagisterIlmuHukum #Angkatan36 #Value #Inovation #Perfection #MIH #FakultasHukum #UniversitasIslamIndonesia #UII