Sumber: https://www.moeslimchoice.com/ |
Pada dasarnya, Ahok memang tidak
menyerang al-Quran, tepatnya surat al-Maidah ayat 51. Ahok menyerang orang yang
memakai surat tersebut. Kata "dibohongi pakai" jika diubah menjadi
kalimat aktif akan menjadi "membohongi pakai". Artinya, Ahok
beranggapan bahwa ada orang yang memakai al-Maidah ayat 51 untuk membohongi
orang lain (objek).
Demikian penjelasan Brili Agung
yang dapat saya cerna. Atas transkrip atau video asli inilah Ahok dilaporkan.
Artinya, kalimat "dibohongi pakai al-Maidah 51" tetap saja dianggap
menistakan agama oleh banyak orang, termasuk MUI. Jelas di sini bahwa pelaporan
Ahok dengan bukti yang disetujui oleh pihak Ahok, yaitu video lengkap dan
transkrip yang asli.
Penekanan ini penting sebab
banyak orang yang menganggap seakan umat ini terkecoh. Mereka secara viral
menyebarkan bahwa Ahok tidak menistakan agama sebab Ahok tidak menyerang
al-Maidah. Dengan percaya diri mereka menjelaskan bahwa dalam ucapan itu Ahok
menggunakan kata "pakai" yang berarti Ahok tidak menistakan al-Quran.
Dengan menjunjung tinggi asas
praduga tak bersalah, kita memang belum dapat menentukan apakah Ahok menistakan
agama atau tidak. Di Negara hukum, putusan Hakimlah yang akan menentukannya.
Tentu, putusan Hakim mesti dianggap benar walau banyak bukti tentang adanya peradilan
sesat. Ada sekian banyak orang tak bersalah tapi divonis bersalah. Meski
demikian, putusan Hakim mesti dianggap benar. Demikian doktrinnya dalam ilmu
hukum.
Baca juga: Ini Bukan Masalah Tafsir
Dalam tulisan ini, menentukan
apakah Ahok bersalah atau tidak sifatnya hanyalah pendapat. Jadi jangan
dihakimi pula seolah saya sudah menjudge Ahok. Ini hanya opini. Putusan Hakim
yang dapat anda pegang, bukan pendapat saya. Sebagaimana pendapat pada umumnya,
pendapat saya besar kemungkinan salahnya. Dengan demikian, dialognya jadi
terfokus, tidak melebar kemana-mana.
Pertama, saya sepakat dengan
Brili Agung dalam hal kebenaran al-Quran. Tapi, kurang sependapat dengannya
bahwa al-Quran tepatnya surat dimaksud tidak dapat digunakan sebagai alat untuk
berbohong. Tidak sepakat pula dengannya dalam hal tafsir ayat tersebut.
Maksudnya, saya meyakini tafsir ayat itu tidak tunggal, melainkan jamak.
Demikianlah al-Quran pada umumnya, kebanyakan yang dhzanni dibanding qath'i,
atau mutasyabihat dibanding muhkamat.
Namun, saya sependapat pula
dengannya dalam hal Ahok telah menyakiti perasaan umat Islam. Dalam konteks
ini, yang sering dikemukakan terkait dengan tafsir kata "wali" dalam
surat al-Maidah ayat 51 itu adalah pemimpin dan teman setia. Kedua arti ayat
itu diyakini oleh orang Islam. Ada yang condong kepada makna
"pemimpin", ada pula yang condong kepada arti "teman
setia". Apakah ada orang lain yang memakai ayat ini dengan tafsir lain?
Tentu tidak. Lantas siapa yang dimaksud Ahok memakai ayat al-Quran untuk
berbohong?
Jika kita cermati dari banyak
ucapan Ahok dan beberapa "ahli" tafsir yang mendukungnya, yang
dimaksud Ahok tak lain adalah orang yang mengartikan "wali" sebagai
"pemimpin". Terlepas dari mana yang benar, apakah pemimpin atau teman
setia, keduanya mesti dianggap benar karena sifatnya khilafiyah. Sejauh ini,
siapapun orang yang dimaksud Ahok, tetap saja Ahok menistakan al-Quran karena
tidak ada orang yang memakai ayat tersebut dengan arti lain. Kedua arti
"wali" di atas diyakini kebenarannya.
Baca juga: Menyoal Delik Penistaan Agama
Barulah tidak menistakan al-Quran
jika ada orang yang memakai ayat tersebut dengan arti yang keluar dari
keyakinan umat Islam. Dan Ahok menyebut orang itulah yang dimaksudkan olehnya.
Misalnya, orang yang dimaksud Ahok adalah seseorang atau lebih yang mengartikan
wali dalam surat tersebut dengan wali nanggroe, wali murid, atau wali band.
Sebab ayat tersebut tidak berbicara wali murid, wali nanggroe, atau wali band.
Keberadaan wali demikian juga hanya ada di Indonesia, tidak ada di tempat lain.
Lagi-lagi, kalaulah kita cermati,
kalimat Ahok tidak terlalu rumit untuk dapat ditangkap maksudnya. Kita dapat
menyusunnya sebagaimana yang telah ditulis oleh Brili Agung dengan pola OPSK.
Kalimat Ahok yang tak sempurna itu dapat kita susun menjadi "anda
dibohongi orang pakai surat al-Maidah 51".
MUI beranggapan bahwa Ahok
menistakan agama dengan ucapannya itu. Setidaknya ada dua alasan mengapa ucapan
Ahok itu menistakan agama: 1. Karena Ahok menempatkan al-Maidah 51 sebagai alat
untuk berbohong, 2. Karena Ahok menuduh bahwa ada orang yang berbohong
menggunakan al-Maidah 51.
Untuk alasan pertama, secara
praktik memang tidak dapat dipungkiri bahwa ada orang yang memakai ayat-ayat
al-Quran untuk kepentingan tertentu. Dalam Islam orang-orang ini disebut
sebagai penjual ayat-ayat Allah. Dan secara tegas perilaku demikian dilarang
Allah lewat firmanNya, "Janganlah engkau memperjualbelikan ayat-ayat Allah
dengan harga yang murah".
Jika dikaitkan dengan ucapan
Ahok, perlu diajukan pertanyaan, bagaimana al-Maidah 51 itu dijadikan sebagai
alat untuk membohongi orang lain? Apakah ada orang memakai ayat tersebut untuk
kepentingan dirinya? Apakah al-Maidah 51 sejauh ini ditafsirkan keliru dan
menyimpang dari ajaran pokok umat Islam sehingga Ahok mengatakan demikian
(lihat ucapan Ahok)?
Unsur kedua dari dugaan penistaan
itu adalah, Ahok menuduh ada orang yang pakai al-Maidah 51 untuk membohongi
orang lain. Dalam hal ini, para Ulama menganggap Ahok menuding Ulamalah yang
berbohong sebab Ulama yang selama ini menyampaikan al-Maidah 51 tersebut. Jika
bukan Ulama yang dimaksud Ahok, lantas siapa? Apa dan bagaimana kebohongan yang
dilakukan orang tersebut sampai-sampai ia memakai al-Maidah 51?
Berangkat dari pandangan di atas,
dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, akhirnya saya berpendapat
bahwa ucapan Ahok merupakan penistaan terhadap agama. Jadi, ucapan Ahok
merupakan perbuatan pidana (actus reus). Sekarang tinggal kita lihat, apakah
Ahok mengetahui dan sadar akan ucapannya?
Dalam delik seperti ini, tidak
tepat jika yang ditanya adalah niat menistakan agama. Sebab, jika itu
pertanyaannya maka tak mungkin orang menjawab "ya, saya berniat menistakan
agama". Ketika ucapan itu ia keluarkan, mestilah ucapannya mengandung niat
jahat (mens rea). Artinya ucapan demikian dikehendaki oleh orang yang berkata.
Yang perlu dicari terkait dengan
niat jahat di sini adalah kesengajaan. Dalam teori kesengajaan, sengaja
tidaknya tergantung pada dikehendaki dan diketahuinya perbuatan. Dalam hal
dikehendakinya suatu perbuatan, jika terkait dengan penistaan agama maka
pertanyaannya apakah ia menghendaki ucapannya tersebut?
Adapun dalam hal diketahuinya
suatu perbuatan, pertanyaannya adalah apakah ia tahu apa yang ia ucapkan dan
apa dampaknya? Sebagai contoh, seseorang menusuk orang lain dan orang itu mati.
Jika ia menghendaki perbuatannya dan tahu bahwa perbuatannya itu akan membunuh
orang, maka orang ini dapat dipidana.
Kesimpulannya, lagi-lagi ini
hanya pendapat, saya menganggap bahwa Ahok sengaja mengutarakan ucapannya di
depan umum karena ia tidak dalam paksaan, dan bukan orang yang awam, anak
kecil, dan tidak pula gila alias tahu apa yang diucapkannnya. Dan muatan
ucapannya itu menistakan agama sebagaimana penjelasan di atas.
#Penistaan #Agama #Hukum #Pidana #PenegakanHukumPidana #Equality #AksiBelaAgama