Kegiatan extra-kurikuler SDN 25 Inp. Lombang
Tulisan ini bukan hendak mendukung
ide full day school (FDS). Dari istilahnya
saja—sebagaimana revisi Mendikbud—sudah kurang tepat, tidak mencerminkan
keindonesiaan.
Tulisan ini hanya ingin bertanya,
mengapa FDS ditolak serta bagaimana semestinya kita menyikapinya.
Jawaban-jawaban dari pertanyaan itu penulis dapati dari sekian banyak diskusi
di grup-grup maya, serta beberapa tulisan yang merespon ide/gagasan Mendikbud,
Prof. Muhajir Efendy.
Sebelum mengulasnya, ada baiknya
dipaparkan terlebih dahulu sejauh mana sebenarnya ide ini dilontarkan ke
publik. Ide FDS merupakan gagasan yang disadari sepenuhnya perlu dikaji secara
mendalam.
Bahkan, dengan memahami konteks
pembicaraan Mendikbud, Muhajir Efendy di berbagai media, dapat kita pahami
bahwa beliau berbicara dalam konteks daerah perkotaan.
Gambaran demikian menjelaskan bahwa
untuk daerah selain perkotaan ide ini mustahil diterapkan. Beliau menyadari itu.
Ketika berita mengenai FDS ini
pertama kali tersebar, Prof. Muhajir mengatakan bahwa dengan sistem ini
nantinya orang tua akan pulang bersamaan dengan anak mereka (Tempo, 8/8/16).
Asumsinya adalah orang tua sibuk dan anak tidak
mendapatkan waktu bersama orang tua mereka jika mereka pulang terlalu cepat.
Untuk mempertegas konteks itu, beliau
menjelaskan bahwa masukan-masukan dari masyarakat akan dikaji, termasuk kondisi
sosial dan geografis mana saja yang memungkinkan sistem belajar tersebut
diterapkan.
Misalnya, di daerah mana saja yang orangtuanya
sibuk, sehingga tidak punya banyak waktu di rumah.
Konteks ini yang kurang dipahami para pembaca
atau pendengar (masyarakat). Mereka cenderung mengedepankan teks dibanding
konteks. Padahal, teks dan konteks adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan
dalam memahami segala hal.
Secara kebahasaan, ungakapan Prof. Muhajir
sebenarnya dapat dengan mudah dimengerti. Konteks pembicaraan itu ada dalam
teks yang ditulis media-media. Hanya saja, hal itu dikesampingkan untuk
menyerang ide FDS tersebut secara berlebihan (untuk tidak menyebutnya lebay).
Andai pun hal ini sukar dipahami, apakah sulit
pula bagi kita untuk mengerti bahwa ide ini belum final, masih ide, masih dalam
tahap sosialiasi.
Terlepas dari konteks pembicaraan yang dianggap
berlaku untuk seluruh daerah oleh banyak orang itu, ada sekian alasan lain yang
dengan mudah bisa kita dapatkan.
Penolakan-penolakan itu patut diapresiasi sebab
tujuan mereka juga baik, sama dengan tujuan FDS yang masih dalam dunia ide.
Persoalan yang subtantif diperdepatkan sebenarnya adalah soal metode.
FDS sebagai suatu metode untuk mencapai tujuan
pendidikan dianggap oleh sebagian orang justeru akan menjauhkan siswa dari
tujuan tesebut. Tapi, sulit mendapatkan alasan yang berdasarkan data, bukti,
atau sesuatu yang merupakan kajian mendalam.
Di sini kita dapat melihat sikap yang lebih
terbuka itu justeru ada pada Mendikbud. Jika ide ini disadari oleh beliau perlu
kajian, perlu didatangkan banyak pakar dari berbagai latar belakang, tidak
demikian halnya dengan orang-orang yang menolak.
Mereka menolak karena berasumsi bahwa FDS akan
berefek buruk bagi siswa. Sebagian mereka menyarankan agar keadaan siswa
dipertimbangkan dalam hal ini.
Padahal, ada beberapa penelitian tentang itu.
Mereka bisa menggunakan hasil penelitian itu sekiranya mendukung pandangan
mereka sehingga tidak terkesan asal-asalan.
Cindy Aditya Pramordawardani menyebutkan dalam
penelitiannya yang berjudul Penerapan Sistem Full Day School dalam
Meningkatkan Kedisiplinan Siswa (UPI, 2013) bahwa FDS secara teoritis
dan praktis bermanfaat bagi sebab FDS membuat siswa lebih disiplin.
Sistem FDS ini membuat mereka semakin mengenal
peraturan di lingkungan sekolah mereka. Kesimpulan yang hampir serupa
diutarakan oleh Novenita Amingningsih, alumni UIN Sunan Kalijaga, 2014.
Dalam skripsinya yang menyorot soal pengaruh
sistem FDS terhadap interaksi sosial siswa kelas lima menunjukkan bahwa persepsi
siswa terhadap sisem FDS berada pada posisi cukup baik. Ia juga menyimpulkan
bahwa interaksi sosial siswa akan semakin baik jika FDS semakin baik
penerapannya.
Terlepas dari kebenaran penelitian itu, bahkan
mungkin penyimpulan saya juga salah terhadap penelitian tersebut, yang ingin
diutarakan di sini adalah pentingnya berargumen berdasarkan data, bukti, atau
kajian yang mendalam.
Berargumen hanya mengandalkan
spekulasi-spekulasi hanya akan membuat kita jauh dari penemuan metode yang
terbaik. Selebihnya, argumen demikian justru hanya mengantarkan kita ada
praduga yang bisa jadi mengarah kepada fitnah.
Sikap seperti ini semakin parah sebab akan
membuat kita meremehkan atau memandang rendah ide orang dan menyerang pribadi
orang tersebut, bukan idenya.
Sebagai alasan terakhir (sebenarnya banyak
alasan lain), kita dapatkan pula sentimen agama dalam menyikapi persoalan ini.
Hal ini mungkin karena penyampaian ide ini berkaitan dengan silaturrahmi
Mendikbud dengan keluarga Muhammadiyah.
Mendikbud sempat mengungkapkan bahwa dengan
FDS, nantinya sekolah bisa mencari guru-guru mengaji yang berkompeten untuk
menangkal ajaran-ajaran radikal lagi menyesatkan.
Hal inilah yang disinyalir menjadi salah satu
pemicu kontroversial sistem FDS. Anak-anak dicekoki agama terus menerus,
menurut mereka tidak benar juga. Padahal, ini hanya contoh. Sedangkan ide yang
beliau maksud tak lain adalah kegiatan-kegiatan (ekstrakurikuler) yang
menyenangkan dan membentuk karakter anak.
Sebagai penutup, tulisan ini juga
menawarkan bagi pembaca untuk bersikap terbuka serta berprasanka baik terhadap
segala isu. Sikap-sikap demikian antara lain adalah menerima adanya
kemungkinan-kemungkinan FDS layak diterapkan sebagaimana kemungkinan tidak
tepatnya FDS ini dipraktekkan menurut pandangan yang lain.
Haidar Bagir dan Deddi Mizwar adalah
contoh tokoh yang baik dalam menyikapi isu di atas menurut penulis. Dalam
opininya, Haidar Bagir masih menganggap relevan ide FDS sejauh ulasan
pendidikan ideal yang beliau maksud (MI, 10/8/2016).