Sumber: https://koinworks.com/ |
Seseorang
bertanya kepadaku, “Bagaimana Anda (Abang) memaknai kegagalan?” Pertanyaan ini
murni menginginkan pendapatku; bukan makna sesungguhnya. Jika demikian, maka
Anda boleh saja tidak setuju dengan pemaknaan yang kuberi. Sejauh ini, aku
bahkan terus dalam rangka belajar, memahami, dan terus mencari arti dari segala
hal.
Berangkat dari
banyak pengalaman, seperti S1 yang kuharap selesai dalam tempo empat tahun,
tapi nyatanya mencapai 9 semester atau empat tahun setengah. Berharap masuk
final dalam beberapa ajang MTQ di level Provinsi yang tak pernah kunjung
kuraih. Aku juga pernah bermimpi kuliah di Mesir dan belajar Islam (hukum
Islam) dari para syaikh. Semua harapan itu hanya sebagian keinginan yang tidak
kunjung kurasakan sampai saat ini. Keadaan yang beginian sering disebut dengan “kegagalan”.
Jika digeneralkan,
diberi definisi dalam kalimat, maka gagal atau kegagalan menurutku adalah
keadaan dimana seseorang (beberapa orang) tidak mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Jika saya ingin selalu ranking satu di kelas, dan nyatanya saya hanya
bisa meraihnya beberapa kali saja, dan selebihnya saya berada di peringkat dua,
tiga, dan empat, berarti saya gagal untuk selalu meraihnya. Saya ingin ke
puncak Gunung Sumbing, tapi nyatanya saya hanya sampai di pos empat, itu
artinya saya gagal mencapai puncak.
Sesederhana itu?
Ya, sesederhana itu menurutku. Hal ini sama dengan kesuksesan. Awalnya saya
termasuk orang yang menghadirkan sukses dalam satu bentuk saja. Dari berbagai
provokasi, saya bahkan sempat sependapat dengan orang-orang yang mencibir
sarjana muda (orang-orang yang cepat lulus) dengan kata “Percuma”. Pencibir
biasanya menambah kata “Percuma” dengan “ Tapi……..”. Mereka berkata, “Percuma
lulus cepat tapi menganggur”. Sebagian membandingkan, “Mending aku yang belum lulus
tapi sudah menghasilkan”.
Ini karena
sukses diasumsikan dengan kerja. Sukses adalah ketika seseorang sudah punya
pekerjaan. Kita dapat pula mengatakan, “Percuma punya kerja, tapi bodoh. Kuliah
saja tidak lulus-lulus”. Akhirnya kita terjebak dalam pola yang kaku. Padahal,
lulus cepat adalah kesuksesan tersendiri, di samping punya pekerjaan. Demikian pula
halnya dengan kegagalan. Lulus lama, tidak punya kerja, dan hal lain yang tidak
sesuai dengan keinginan mesti dianggap sebagai kekagalan. Hanya saja, satu
kegagalan bukan berarti kita gagal seluruhnya.
Misal, saya
gagal meraih beasiswa, apakah lantas saya harus gagal dalam melanjutkan studi? Padahal,
untuk melanjutkan studi, kita bisa bekerja dan menghasilkan uang untuk membayar
spp. Atau, karena saya tidak bisa bahasa Inggris, dan itu adalah sebab megnapa
saya gagal mendapatkan beasiswa, apakah lantas disimpulkan bahwa semua
kegagalan meraih beasiswa karena ketidakmampuan berbahasa Inggris? padahal di
luar sana ada yang gagal karena kualitas essaynya, jawaban interview yang tidak
meyakinkan, dan banyak faktor lainnya.
Kita mesti
mengaku bahwa kita gagal; gagal menjadi Polisi misalkan, gagal lulus cepat,
gagal menikah, dsb. Tapi, kita tidak dapat mengatakan, “Aku gagal menikahimu”,
lalu bunuh diri yang merupakan akhir atau menggagalkan diri dari segalanya. Selain
tidak dapat digeneralisir; tidak dapat disamakan satu dengan yang lain; satu
keadaan dengan keadaan yang lain, menurutku gagal juga tidak dapat dianggap
sebagai akhir. Memaknai gagal sebagai akhir membuat orang putus asa bahkan
cenderung mengakhiri; usaha, belajar, mencoba, bahkan hidup. Bukan demikian
maknanya. Bahkan aku lebih setuju jika gagal adalah awal.
Sedikit cerita
tentang Ibn Hajar (seseorang yang selalu gagal memahami penjelasan gurunya).
Suatu hari pernah ia memutuskan untuk pulang dan tidak melanjutkan studinya
karena selalu gagal. Ia pun minta izin dan pulang. Di perjalanan, hujan turusn
dan ia berteduh lama sambil memperhatikan batu yang berlubang. Ia berpikir, “Jika
batu yang keras bisa berlubang dengan sentuhan air hujan, masa sih otakku yang
lembek tidak dapat menerima pelajaran?” batinnya.
Ia berbalik
arah menuju ke tempat semula di mana ia menimpa ilmu. Ia yakinkan dirinya
dengan satu hal, “Jika gagal, coba lagi. Gagal, coba lagi, dst”. Seperti pola
air hujan. Tetes pertama, batu biasa saja. Tetesan kedua, ketiga, hingga
kesekian tak terhitung jumlahnya, batu yang keras berlubang jua. Banyak kisah
serupa. Yang hendak kita ambil di sini adalah, bahwa gagal bukanlah akhir apa
lagi untuk membuat kita berhenti/mengakhiri. Gagal justru seperti sebuah jeda
dimana kita diberi kesempatan mempersiapkan segalanya, diberi kesempatan
mencoba kesekian kalinya, untuk melanjutkan tujuan atau merubah tujuan yang
mungkin lebih baik bagi kita.
Tapi,
andailah kegagalan itu merupakan hasil akhir, dengan asumsi kematian adalah
akhir perjalanan kita, maka gagal adalah ketika kita ingkar dan masuk neraka. Dengan
demikian, sukses merupakan merupakan tercapainya predikat taqwa yang akhirnya
menghantarkan seseorang ke dalam syurga. Asumsinya adalah, gagal dan sukses
merupakan hasil akhir dan akhir itu adalah mati. Mengenai ini, semoga bisa saya
tulis di lain kesempatan.