Feri (KAMMI), Mursalim (PMII), Khairil (IMM). Tiga guru di SD N 25 Inp. Lombang
Indoensia bukanlah satu daratan yang
kecil. Terdiri dari pulau-pulau kecil dan besar, suku dan agama yang beraneka, Indonesia
terbentang luas dari Sabang hingga Papua. Dari fakta ini, ada perasaan malu
dalam diri untuk sekadar berbicara soal Indonesia, apa lagi mengaku-ngaku mencintainya. Sebab, seringkali orang mengaku
mencintai Laila, sedangkan Laila tak pernah mengakuinya (pepatah). Banyak orang
yang mengaku cinta Indonesia, padahal tak tahu persis tentangnya, lantas
bagimana mungkin diterima pengakuannya?
Itu sebabnya sebagian orang memilih
diam, mencintai dalam sunyi, berbakti tanpa diketahui. Orang-orang ini ibarat ‘abid yang tersembunyi amalnya, selain
takut riya, mereka juga merasa bukan terbaik dari hamba lainnya. Orang-orang
ini rendah hatinya, baik akhlaknya, dan berusaha menjadi sebenar-benarnya
hamba, dan berupaya menjadi terbaik tanpa mengaku sembari mengusungkan dada lalu
berkata, “Akulah paling mulia”.
Demikianlah cara para petani mencintai
negeri ini; di pagi hari menanam benih, pulang sore meski letih. Mereka jarang
yang kaya, namun tanpa mereka, si kaya tak berarti apa-apa. Begini pula cinta
guru di pelosok negeri dengan gaji kecil yang tak cukup untuk hidup
sehari-hari. Sedang dari pusat menuntut mereka terlalu tinggi, padahal jumlah
guru di pelosok belum tercukupi. Namun mereka tetap pergi. Yang mereka pikir
hanya murid yang menunggu setiap pagi. Ini cara guru di pelosok negeri
mencintai generasi.
Ada hal menarik yang kualami sendiri ketika
ditugaskan mengajar di salah satu SD yang ada di Majene (Sulawesi Barat). Di
sana, aku tidak mempersoalkan tentang diriku. Bagiku, apa yang kudapat,
bukanlah yang utama. Justeru ini soal mereka. Ada perasaan malu di satu sisi,
namun terharu di sisi yang lain. Ini disebabkan oleh realita masalah pendidikan
di Indonesia. Tidak mungkin mengulasnya satu persatu, maka akan aku sebutkan
bagian-bagian yang paling membuatku malu dan terharu.
Aku malu ketika mendengar beberapa
cerita guru honorer di tempat aku ditugaskan. Beberapa guru honorer itu mengaku
sudah lama mengabdi di sekolah itu. Yang paling muda, telah mengabdi satu tahun
sebelum aku ada di situ. Aku dibuat malu, tepatnya merasa malu karena aku bukan
apa-apa dibanding mereka. Kalau di luar sana banyak orang yang memuji kami, aku
justeru malu dengan guru-guru yang sebenarnya lebih layak untuk itu.
Mereka hanya luput dari pemberitaan,
kurang diapresiasi, dan cenderung diremehkan. Padahal, yang bersikap demikian
tidak akan pernah mau berada di posisi guru-guru ini. Ya, siapa yang mau
mengabdi di daerah terpencil dengan gaji di bawah Rp 300.000 per-bulannya?
Salah seorang yang juga honorer di SD itu bahkan tak mendapat apa-apa dari
hasil kerjanya. Aku katakana demikian, sebab ia meminjam motor ke tetangga atau
saudaranya untuk kemudia naik ke gunung dimana SD itu berada. Gajinya hanya
untuk bensin motor yang dipinjamnya untuk mengajar setiap hari.
Pernah suatu malam dimana aku nyaris
meneteskan air mata karena haru. Pada saat itu, guru honorer yang kusebut tadi
datang ke rumah (tempat aku tinggal), ia menanyakan kunci sekolah hanya untuk
mengambil jawaban hasil ulangan anak-anak yang ingin diperiksanya malam itu
juga. Padahal ada hari esok, atau lusa. Tapi ia memilih tidak menunda. Kejadian
berbeda di malam hari juga, guru tersebut kembali ke sekolah untuk meminta
warga setempat (yang punya mobil) untuk mengangkut kursi sekolah akibat tidak
dibolehkannya pengangkutan di kala siang (ada perbaikan jalan). Adapun mobil
dari desa lain, tidak mungkin mau ke SD yang letaknya di gunung dengan jalanan
yang rusak.
Realita itu membuatku berubah haluan.
Awalnya aku mengagumi negeri ini karena alamnya yang indah, kini sedikit
bergeser kepada semangat bangsa yang masih ada. Aku menyaksikan orang-orang
dengan semangat yang nyaris tanpa pamrih. Aku merasakan semangat kepahlawanan
itu ternyata masih ada. Kalau dulu aku membaca sejarah pahlawan di buku-buku
pelajaran saja, tapi kini aku melihat pahlawan-pahlawan itu secara nyata.
Cinta mereka terhadap negeri ini
seperti defenisi cinta dalam arti semestinya (cinta yang ideal) atau tentang
hakikat cinta yang dimaksud oleh Ibn Hazm el-Andalusy. Menurutnya, cinta
bukanlah sebuah “karena”. Cinta adalah cinta. Cinta tidak mempunyai “sebab”
yang membuatnya fana. Cinta adalah keabadian sang Maha Cinta. Orang-orang yang
kusebut tadi, adalah orang yang mencintai negeri ini dengan cinta sejati.
Mereka adalah pahlawan tanpa media; yang memberitakan, yang menyebut mereka
pahlawan. Dan jumlah mereka tentu lebih banyak dari orang-orang yang
disebut-sebut oleh media.
Orang-orang ini memberiku keyakinan
bahwa mencintai Indonesia memang semestinya tidak punya alasan. Sebagai orang
Indonesia, apakah pantas kita membenci diri atau bangsa sendiri? Kalau pun
“cinta” tidak cukup sebagai alasan, maka keberadaan orang-orang di atas adalah
alasan lainnya. Boleh dikatakan, kecintaan terhadap negeri ini semestinya bukan
karena alamnya yang melimpah, melainkan pada manusianya yang baik, ikhlas, dan
ramah. Demikianlah cinta guru terpencil pada negeri ini.