Sumber: https://mediaumat.news/
Dalil Pemberontakan dan Perdamaian
Terjemahan
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman
itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian
itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab
itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (al-Hujarat ayat 9-10).
Tafsir Kata
In bermakna jika, menunjukkan bahwa pertikaian antara
mukmin jarang terjadi.
Iqtatalu terambil dari kata qatala yang
berarti membunuh, berkelahi, atau mengutuk.
Thâifatâni: dua kelompok
ash-lihũ terambil
dari kata ashlaha asalnya adalah shaluha. Antonim
dari kata fasada (rusak) yang berarti (manfa’ah). Berarti ash-lihũ bermakna perintah untuk mendatangkan
manfa’at atau melakukan perbaikan; tentunya hubungan antara yang bertikai.
Baghat terambil dari kata baghâ pada
dasarnya berarti kehendak, namun berkembang pada makna melampaui batas.
al-Muqshithîn terambil dari kata qisth yang
biasanya diartikan dengan kata ‘adl. Namun ada yang
mengartikannya bahwa qisht adalah keadilan yang
diterapkan kepada dua belah pihak sementara ‘adl menempatkan
sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu belah pihak.
Asbab al-Nuzul
Al-Bukhari
berkata: Musaddad menceritakan kepada kami; Mu’tamir menceritakan kepada kami,
ia berkata: aku mendengar ayahku bahwa Anas r.a berkata: “Ada yang berkata
kepada Nabi saw. ‘Sekiranya engkau mendatangi ‘Abdullah bin Ubay,’ Nabi saw.
lalu bertolak kepadanya dengan mengendarai keledai dan kaum Muslimin juga
bertolak berjalan bersama beliau di sebuah tanah lembab dan asin (yang tidak
dapat digarap). Tatkala Nabi saw. mendatanginya, ia (‘Abdullah bin Ubay)
berkata, ‘Menjauhlah dariku, demi Allah bau busuk keledaimu telah
menggangguku.”
Maka
salah seorang Anshar dari mereka berkata, ‘Demi Allah, sungguh keledai
Rasulullah saw lebih harum baunya daripada kamu.’ Lalu salah seorang dari
kaumnya marah untuk (membela) ‘Abdullah, sehingga keduanya saling mencaci dan diikuti
oleh kemarahan para sahabat kedua orang itu. Sehingga terjadi saling pukul
antara keduanya dengan pelepah kurma, sandal dan tangan. Kemudian sampailah
(berita) kepada kami bahwa telah turun ayat: ‘Dan jika ada dua golongan
dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara kedunya.’”[1]
Tafsir Siyasah
Ayat ini
dengan jelas menerangkan bahwa kalau dua golongan kaum mukmin bersengketa
hingga menimbulkan perang, maka kewajiban bagi orang Islam untuk mendamaikan
dengan segera kedua golongan yang berperang itu.[2] Dengan demikian, maka perdamaian merupakan
tujuan dalam Islam
Bukankah makna Islam adalah damai? Pada ayat
berikutnya akan terlihat jelas bahwa kecondongan berdamai Allah memakai
kata as-silmu yang kata Islam juga terambil
dari kata itu. Namun damai dalam ayat berikutnya bukan bermakna Islam secara
institusional agama, melainkan bermakna umum yaitu ‘damai’.
Hal ini juga terlihat dari penjelasan Prof. Hasbi
ash-Shiddieqy bahwa: “Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bagaimana para
mukmin mendamaikan dua golongan yang bersengketa dan menyuruh para mukmin
memerangi golongan yang kembali membuat aniaya (zalim) sesudah diadakan
perdamaian, sehingga dengan demikian mereka bisa kembali kepada perdamaian yang
mereka langgar.
Perdamaian, sebagaimana wajib kita lakukan antara dua
golongan yang bermusuhan, begitu pula antara dua orang bersaudara yang
bersengketa. Pada akhirnya Allah menyuruh kita bertaqwa kepada-Nya dan mengakui
hukum-Nya.”[3]
Ternyata, perintah mendamaikan antara yang bertikai
tak semata mendamaikan kedua kelompok mukmin saja. Kata ikhwah dalam
al-Qur’an yang hanya terulang tujuh kali dalam al-Qur’an ternyata berbeda
maknanya dengan kata ikhwah dalam al-Hujurât ini. “Hal
ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama
Muslim, adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan
iman, dan kali ke-dua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang kedua ini
bukan dalam pengertian yang hakiki. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
memutuskan hubungan persaudaraan itu”.[4]
Nah, adapun penggunaan bentuk dual pada kata akhawaikum di
sini memberi arti bahwa jangankan antara banyak orang, dua pun, jika mereka
berselisih harus di-ishlâh-kan. Sehingga harmonislah hubungan mereka.
Oleh karena semua dipandang bersaudara, maka “damaikanlah di antara
saudara-sauramu yang se-agama itu, sebagaimana kamu mendamaikan saudaramu yang
seketurunan”.[5]
Quraish-Shihab menutup tafsirannya terhadap ayat ini
dengan penekanan bahwa Islam jelas-jelas menuntut terbentuknya kesatuan dan
kesatuan, bukan sebaliknya. Problem jika ada yang mengkhianati, maka
perangilah, namun dengan tujuan agar mereka kembali, bukan membasmi apalagi
melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang sering terjadi dalam peperangan
seperti genosida dan sebagainya. Islam memiliki ketentuan-ketentuan hukum dalam
hal ini.
Ahkam Siyasah
Perintah
untuk melakukan ishlâh jika ada pertikaian antara kedua
kelompok mukmin.
Perintah memerangi orang-orang yang mengingkari janji
damai sampai surut kembali ke-jalan (perintah) Allah
Perintah untuk melakukan ishlâh secara
adil seadil-adilnya
Penegasan bahwa mukmin itu adalah satu kesatuan ummat
Perintah bertaqwa karena tujuan hidup yang di dalamnya
terdapat aspek politik, tak boleh terlepas dari nilai ibadah. Menurut
Bapak Hasanuddin Yusuf Adan “Siyâsah adalah ‘ibâdah).
Terjemahan
Dan jika mereka condong kepada
perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui (al-Anfal ayat 61)
Tafsir Kata
Janahu: condong atau cenderung; baik
dalam genjatan senjata atau perjanjian tidak saling menyerang.[6] Berasal dari kata janâh yang
berarti sayap, hal ini berkaitan dengan burung yang
menyondongkan sayapnya kea rah yang dituju.
Li as-Silmi: Untuk berdamai, bukan untuk masuk agama Islam,
karena terkadang kata Islam juga bisa berarti Islam dalam arti agama.
Tawakkal: berserah diri dan percayakan segala urusan kepada-Nya.[7]
Tafsir Politik
Dalam
Islam, perang bukanlah tujuan, melainkan media dakwah terakhir setelah berbagai
upaya ditempuh. Artinya, peperangan itu sendiri sesunguhnya sangat dibenci oleh
Islam sehingga dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Muslimin agar
mengikuti perdamaian kendatipun hal itu permintaan dari musuh.
Quraish
Shihab menjelaskan dalam tafsirnya bahwa pengertian izin melakukan perdamaian
ini hanyalah bagi kelompok-kelompok tertentu bahkan ada pula yang membatasinya
hanya dalam jangka waktu sepuluh tahun tidak boleh lebih karena Nabi dalam
perjanjian Hudaibiyah melakukan perjanjian dengan tempo sepuluh tahun. Beliau
menambahkan bahwa hal ini tak sepenuhnya didukung oleh Ulama kontemporer.
“Perdamaian adalah dambaan setiap manusia, selama
perdamaian itu adil. Karena itu pula tidak ada halangan bagi kaum Muslimin
bukan saja menerima tetapi juga menawarkan perdamaian selama ada kemashlahatan
yang dapat diraih.”[8] Penjelasan ini member pemahaman bahwa perdamaianlah
yang mesti diutamakan bukan perselisihan, peperangan dan sebagainya.
Problem selanjutnya adalah apakah ayat ini telah di-nasakh-kan?
Ibn ‘Abbas mengatakan, bahwa ayat ini telah di-nasakh-kan dengan
ayat “Kamu perangilah orang Musyrik”.[9] Namun para Mujtahid mengatakan
ayat ini tetap muhkamat. Berkaitan dengan hal ini, kiranya
pendapat Ibn ‘Abbas memang lebih tepat.
Ayat ini bukan
hukum final. Dan bagi orang-orang yang mental dan pikirannya tertekan dengan
realitas sekarang tidak perlu mentakwilkan dengan takwilan yang keliru. Ayat
ini memiliki kesinambungan munasabah dan terkait muqayyad dengan
ayat lainnya yakni surat Bara’ah. Karena pada anggapan yang mengatakan bahwa
hukum ini muhkamat dan final lalu menafsirkan ‘kecondongan
untuk berdamai’ dengan pemungutan pajak jizyah sangat
tidak relevan.
“Pendapat ini tidak sesuai dengan realitas sejarah,
karena hukum-hukum jizyah itu turun di dalam surah Bara’ah pada tahun 8 Hijrah.
Sedangkan ayat ini turun pada tahun 2 sesudah Perang Badar, dan pada waktu itu
belum ada hukum tentang jizyah”.[10]
Kemudian dalam menyikapi pendapat orang yang
menafsirkan perdamaian dengan jizyah, Sayyid Quthb berkata: “Semua
itu dimaksudkan untuk sampai pada kesimpulan bahwa jihad dalam Islam itu adalah
semata-mata untuk melindungi orang-orang Islam dan Darul-Islam semata”.[11] Seolah-olah Islam tidak punya
hak untuk menuntut terhadap orang lain. Sedikit terkesan menentang, tetapi
dalam lanjutan tulisannya beliau meminta agar hal ini diperjelas oleh
si-Pemberi pendapat.
Berbeda pada ayat sebelumnya, maka
kata-kata condonglah di sini karena perdamaian ini bukan
antara mukmin yang harus diperbaiki hubungannya. Ayat ini bercerita antara
Muslim dan Kafir. Nah, walaupun demikian, tetap saja, keadaan untuk berdamai
mestilah diutamakan. Berkaitan dengan kepicikan kafir terhadap Muslim,
setidaknya kata condonglah juga member kesan kehati-hatian.
Artinya, kita mesti mengikuti prosedur yang ada namun
tanpa melupakan sikap antisipasi. Sebagai mukmin, mestilah bertawakkal agar
Allah senantiasa membantu dalam setiap pergerakan kita. Allah melindungi
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya seperti halnya Allah menaungi Nabi
dalam lindungan-Nya.
Di akhir ayat ini, Allah memerintahkan Nabi untuk
bertawakkal. Dan beginilah sikap yang anggun yang semestinya kita ikuti. Nabi
Muhammad saw. sebagai uswah melakukannya. Namun memang sedikit
terjadi kekeliruan bagi orang-orang yang enggan berusaha.
Orang-orang malas ini akan menjadikan tawakkal sebagai
alasan untuk tidak melakukan upaya. Padahal disetiap perintah tawakkal tentu
ada perintah lain sebelumnya. Maknanya adalah, upaya mesti terus ditingkatkan
dan Nabi memang mena’ati perintah Allah untuk berdamai karena kecondongan musuh
untuk berdamai.
Quraish-Shihab menafsirkan maksud dari tawakkal ini
dengan menyerahkan segalanya kepada Allah. Beliau menambahkan “Bertawakkal
mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu”.[12] Dengan demikian keimanan yang
sempurna inilah yang menaungi Nabi di dalam lindungan Allah. “Allah
melindungi beliau dari tipu daya mereka”.[13]
Hal ini selaras dengan sambungan ayat ini bahwa “Dan
jika mereka bermaksud menipumu, Maka Sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi
pelindungmu). dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para
mukmin”.
Ahkam Siyasah
Perintah
untuk condong kepada perdamaian, kendatipun itu permintaan musuh.
Perintah ber-tawakkal kepada Allah namun
setelah melakukan berbagai upaya.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dalam
ideolopi politik Islam, perdamaian merupakan hal yang utama, bukan
pemberontakan. Justru, pemberontakan merupakan hal keji dan pemerintahan wajib
menumpas kaum pemberontak ini. Seperti perintah-Nya untuk memerangi mereka yang
mengingkari perdamaian, jelaslah bahwa pengingkaran juga termasuk dalam
rangkaian pemberontakan yang harus diperangi. Inilah ajaran yang lurus, selamat
dan menentramkan.
Adapun tuduhan kafir bahwa hukum
Allah adalah hukuman yang kejam, haruslah memiliki referensi yang
representative. Dan, penegasan yang Allah ucapkan dalam ayat ini masalah
perdamaian terulang dua kali pada ayat 9 surat al-Hujurât dan 1 kali pada ayat
10 nya. Nah, penegasan kedua memang tidak langsung dengan kata ishlâh, tapi
setidaknya juga memberi makna agar Islam lebih condong kepada perdamaian.
Karena damailah keadaan yang harus diupayakan bukan kerusuhan yang dilakukan
pemberontak maupun musuh.
End Notes
[1] Muqbil bin Hadi, Shohih
Asbabun-Nuzul, Meccah: Depok, hlm.387
[2] Abdul Halim Hasan, Tafsir Ahkam, Kencana:
Jakarta, 2006, cetakan ke-1, hlm.568
[3] Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir
an-Nur, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2000, jilid 5, hlm.3919
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah, Volume 13, Lentera Hati: Jakarta, 2007, cetakan ke VIII,
hlm.248
[5] Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir
an-Nur, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2000, jilid 5, hlm.3919
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah, Volume 5, Lentera Hati: Jakarta, 2007, cetakan ke VIII,
hlm.487
[7] Ibid
[8] Ibid, hlm.487-488
[9] Abdul Halim Hasan, Tafsir Ahkam, Kencana:
Jakarta, 2006, cetakan ke-1, hlm.464
[10] Sayyid Quthb, Tafsir Fi
Dhzilalil-Qur’an, Gema Insani: Jakarta, 2003, jilid 5, hlm.227
[11] Ibid, hlm.228
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah, Volume 5, Lentera Hati: Jakarta, 2007, cetakan ke VIII,
hlm.488
[13] Sayyid Quthb, Tafsir Fi
Dhzilalil-Qur’an, Gema Insani: Jakarta, 2003,jilid 5, hlm.230