![]() |
Sumber: https://m.medcom.id/ |
Ku kenal keburukanBukan untuk terjerumus ke dalamnyaNamun untuk berjaga-jaga darinyaBarang siapa yang tak mengenal keburukan dari kebaikanIa akan terjerumus ke dalamnya
PENDAHULUAN
Maqshid asy-syari’ah merupakan tujuan
Allah dan Rasul-Nya dalam perumusan suatu hukum atau ketetapan; baik dengan sanski-sanksi, maupun
tanpa sanksi.
Tujuan itu kemudian diringkas
menjadi mashlahah. Dengan demikian tiadalah luput dari setiap yang
ditetapkannya kecuali di dalamnya terdapat kemanfa’atan. Lalu, seiring bergulirnya waktu,
kajian tentang ini pun kian menarik perhatian.
Ketika semua orang telah buntu
dalam mengistinbathkan hukum karena minimnya metodologi yang menjawab semua
kebutuhan, muncullah penalaran istishlahiah ke permukaan yang tentunya memiliki
ciri tersendiri dalam melakukan tashaur-nya.
Abu Zahrah
(1958), mengemukakan Syariat Islam datang untuk membawa rahmat bagi manusia.
Allah berfirman yang artinya:
“Dan Tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS
Al-Anbiya’:107)[1].
Lalu, apa
bukti-bukti yang bisa kita datangkan jika syari’ah memang bertujuan untuk
mashlahah?
Pertanyaan
inilah yang kemudian kami kerungcutkan menjadi pembahasan terkecil demi melihat
persoalan secara lebih mendalam dan terfokus.
Dalam kajian ini
kami hanya mengambil satu dari lima tujuan pokok maqashid
asy-syari’ah sesuai dengan intruksi dalam perkuliahan ini.
WUJUD
Dalam tulisan sederhana ini, kita
akan menemukan jawaban dari persoalan di atas dalam dua bentuk.
Pensyari’atan terkadang bisa dilihat dengan kasat mata baik hasil maupun
prakteknya.
Namun terkadang keberadaan
syari’ah juga tak bisa dilihat dengan panca indra. Karena kami hanya akan
memberi bukti bahwa Islam memang benar menjaga keturunan, maka
pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul tentu saling berkaitan dengan judul kami
di atas. Pemeliharaan keturunan bisa dilihat dari praktek-praktek yang
disyari’atkan oleh Allah dan Rasulnya.
Mengapa Islam mensyari’atkan
kesaksian dalam akad nikah seperti yang dapat dilihat dalam hadits dari
Ibn ‘Abbas, tidak sah nikah tanpa dipersaksikan (Sunan at-Turmidzi)?
Persaksian itu adalah sebuah
pembuktian terhadap keberadaan sesuatu, yang mana persaksian itu menjadi
pengakuan atas eksistensi segala sesuatu. Sesuatu yang tidak ada pengakuan akan
menjadi tabu dalam realita.
Bukankah tanah rakyat sering
diserobot hanya karena tiada bukti tertulis? Artinya bukankah bukti itu merupkan
bentuk legalitas dan legitimasi hukum di zaman modern ini? Lalu logika apa yang
bisa kita utarakan untuk menolak syari’at ini?
Lantas, kenapa
Islam mensyari’atkan agar berita pernikahan disebarkan ataupun agar peristiwa
pernikahan diketahui umum?
Sungguh
permasalahan nikah bukan hanya berbicara masalah ini memang disyari’atkan,
namun lebih dari itu. Nikah adalah suatu ikatan resmi untuk mengakui sebuah
hubungan antara seorang pria dan wanita.
Kenapa hadits
menyebutkan agar berita pernikahan diketahui khalayak? Ini justru akan
meyakinkan masyarakat terhadap hubungan itu. Ketika ini diketahui oleh orang
banyak, maka nama baik mereka akan terjaga.
Karena pengakuan
terhadap hubungan mereka telah ada. Sehingga nanti ketika mereka memiliki anak,
tidak akan ada orang yang mempermasalahkan mereka, karena keberadaan mereka
diakui oleh masyarakat dan juga syariat.
Dua permasalahan
di atas merupakan syariah yang ditetapkan demi terpenuhinya kebutuhan primer
manusia.
Tanpanya, tentu
ketertiban dan keteraturan hidup tidak akan terwujud. Implikasi dari
permasalahan di atas tadi merupakan jalan untuk pemenuhan kebutuhan dasar
yang memang menjadi fitrah manusia.
Ternyata Islam
memberikan jalan pemenuhan kebutuhan itu dengan jalan yang syar’i yang menjaga
kehidupan dan juga keturunan manusia itu sendiri.
Selanjutnya,
ketika pengakuan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar telah ada, maka ada hal
lain yang dipandang syara’ menjadi hal yang kemudian akan mengatasi problem
dalam menjaga diri bagi umat.
Islam tidak
membatasi umatnya dalam hal berpakaian, selama itu dianggap mashlahat bagi
pemakainya dan tida melanggar aturean syariat. Yakni, menutup aurat.
Definisi menutup
aurat ini tidak membatasi seseorang dalam berpakaian.karena kondisi
cultural daerah yang berbeda-beda. Belum tentu berpakaian seperti yang dipakai
orang di Arab akan lebih mashlahah ketika dipakai di daerah Eropa.
Dan belum tentu
juga pakaian muslim di negeri seperti Indonesia akan lebih menjamin
kemashlahatan pemakainya jika berada di daerah yang agak ekstrem seperti Rusia.
Nah, contoh
kedua di atas merupakan kebutuhan al-hajiyyah (sekunder). Pada tataran tersier
(at-tahsiniyah) atau kebutuhan pelengkap, Islam membolehkan seorang wanita
memakai pakaian dengan warna dan bahan kain yang disukainya.
Beginilah Islam
menjaga pemeluknya dengan sistem yang sempurna. Islam menganjurkan agar umatnya
melakukan sesuatu dengan sempurna.
Filosofi dari
wudhu’ dan bersuci lebih dari satu kali, menunjukkan bahwa pada tataran
menyempurnakan sesuatu, Islam
malah menganjurkannya.
Karena Islam
juga mencintai keindahan. Jadi pembolehan memakai pakaian dari warna dan bahan
apa saja yang disukai selama bukan untuk tujuan riya atau pamer, itu tidak ada
larangan dalam Islam[2].
Tapi tujuan ini
jangan disamakan dengan tafsiran yang ada di Barat; menyamakan keindahan yang
bersifat nurani dengan nafsu.
‘ADAM
Dalam hukum
Barat, dua orang yang berzina atas dasar suka sama suka tidaklah dikategorikan
melanggar hukum. Atau, jika tidak ada tuntutan kepada lembaga peradilan maka
masalah ini bukanlah perkara hukum.
Namun secara
adat, sebagian besar masyarakat (termasuk non muslim) masih menganggap zina
sebagai perbuatan tercela (aib). Anggapan ini tidak lain berasal dari fitrah
kemanusiaan mereka. Buktinya, binatang tidak pernah menganggap perbuatan
semacam itu sebagai perbuatan tercela.[3]
Allah berfriman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina
itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra’ ayat 32).
Dalil ini bagi yang enggan
melakukan pengkajian tentu tidak akan pernah bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan orientalis atau kafir sekalipun terkait pensyari’atan
ini.
Mereka tentu akan sekedar
menjawab bahwa hal tersebut memang sudah ketentuan tanpa mampu memaparkan
filosofis bahkan hikmah apa yang terdapat dalam syari’ah yang agung ini.
Pengharaman zina ini tentu
mempunyai makna yang sangat luas. Zina diharamkan karena Islam menghendaki
kemashlahatan bagi umatnya.
Bisa dibayangkan jika zina
dilegalkan, bagaimana hancurnya umat ini. Yang dominan menjadi korbannya tentu
wanita.
Siapa yang akan bertanggungjawab
terhadap bayi yang dikandungnya,siapa yang melindungi mereka ketika cemoohan
datang dari masyarakat.
Kemudian juga tekanan mental
ketika ia hamil. Belum lagi aborsi menjamur, karena wanita yang tidak bermoral
akan rela membunuh janinnya demi alasan profesi.
Tentunya problem seperti ini
tidak akan pernah ada jika persoalan hubungan intim itu ada aturannya. Dengan
diharamkannya zina, lebih banyak nyawa yang akan terselamatkan.
Juga lebih banyak kemashlahatan
kepada umat tanpa menzholimi fitrah syahwati manusia. Inilah Islam, menjawab
setiap permasalahan umat dengan detail.
Pada kebutuhan primer ini
ternyata bukan zinanya saja yang diharamkan. Dikatakan bahwa sesuatu yang wajib
maka wajib pula penghubung (sesuatu yang menghantarkan kepada yang wajib)
kewajiban tersebut, mafhum mukhalafahnya adalah sarana yang menghantarkan
seseorang berzina haram pula dilakukan.
Oleh karenanya, kata yang
digunakan dalam pengharaman tersebut di atas bukanlah pada mengahramkan zina,
melainkan diharamkan mendekatinya.
Hal ini didukung pula oleh Q.S.
an-Nur 30-31 tentang pengharaman melihat aurat, serta pensyari’atan izin masuk
rumah yang terdapat dalam Q.S. an-Nur ayat 27.
Untuk kebutuhan sekunder, kami
belum menemukan dalil atau contoh lain yang tepat untuk dijadikan hujjah
mengapa begini/begitu?
Dengan demikian, maaf jika kami
meloncat karena tidak sesuai dengan bahasan sebelumnya. Hal ini bisa disebut
bahwa pembahasan pada poin B ini tidak hierarkis.
Islam melarang wanita melakukan
sendiri akad nikahnya, hal ini tentu memiliki alasan dan hikmah tersendiri.
Tapi dalam hal ini, kami tidak dapat menemukan jawaban yang logis terkait
dengan hikmah dari pelarangan tersebut.
Ini jika dikaitkan dengan hadis
nabi yag menyebutkan bahwa wanita yang menikah tanpa wali, maka nikahnya akan
sia-sia. Kenapa demikian?
Tentunya inilah pengakuan
terhadap pentingnya pertanggungjawaban dari apa yang kita lakukan.
Pertanyaannya mampukah wanita mempertanngungjawabkan apa yang diucapkannya
ketika melakukan akad?
Sementara nikah itu adalah ikatan
yang bersifat selamanya. Sementara pria ketika melaksanakan akad, memang
dituntut pertanggungjawabannya terhadap orang yang dipinangnya.
Konsekuensi dari nikah adalah
memberi kebahagiaan bagi orang yang dinikahinya. Jika pertanggungjawabannnya
dilimpahkan kepada wanita, justru akan melahirkan problem yang lebih rumit.
Yakni posisi wanita sebagai orang
yang akan menjadi tanggungjawab suami, malah harus bertanggungjawab terhadap
suami. Meskipun dalam hal kewajiban terhadap suami, inilah bentuk
pertanggungjawaban istri.
Nah, kesemua ini jika kita teliti
dengan menggunakan penalaran istishlahy tentu akan menjawab
bahwa sesungguhnya dibalik syari’ah tentu ada hikmah.
Dan dulu, ketika metode ini masih
minim dalam pengkajiannya, maka untuk membolehkan pengunaan metode ini yang
dahulu sering disebut sebagai mashlahah murasalah.
Ibn Taimiyah berkata “
apabila seseorang mendapat kesulitan memeriksa hukum sesuatu, apakah hukumnya
mubah atau haram, maka lihatlah mashlahat (kebaikan) dan mafsadah
(keburukan)nya sebagai dasar”[4].
Artinya, rangkaian argumentasi di atas mengantarkan kita kepada
satu pemahaman baru, atau setengah baru, mungkin juga ini adalah pendapat
yang memang sudah dibuat kerangka dasarnya oleh pemikir dahulu, namun belum
menemukan jawaban terhadap permasalahannya bahwa segala syari’ah yang
disyari’atkan tentu memiliki hiikmah, tiada luput dari mashlahah, karena Islam
itu sendiri adalah rahmah.
Dengan dalil-dalil di atas,
terjawab pula bahwa benar terbukti Islam memang menjaga keturunan yang
merupakan salah satu pokok maqashid syar’iyyah.
END NOTES
[2] Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, PT Rineka Cipta: Jakarta, 2005, cetk
ke 5, hlm.261
[4] Abdul wahab
Khallaf, ilmu ushul fikih, PT. Rineka Cipta. Jakarta, 2005.cet.ke 5.hal 160