Wow, Jokowi banget ni. He he he he. No, tidak,
tulisan ini tak ada kaitannya sama sekali dengan Jokowi apalagi partai yang
mengusungnya. Tulisan ini hanya keluhan hati seorang Mahasiswa yang rindu
perubahan—tentunya ke arah perbaikan.
Ada apa dengan Mahasiswa? Kok bisa judul tulisannya “Mahasiswa
Kotak-Kotak?” Penasaran bukan, he he he. Baiklah, dengan segala kekuarangan
saya mencoba untuk menjelaskan.
Mahasiswa adalah orang-orang yang belajar di
Perguruan Tinggi. Mahasiswa sering disebut sebagai agent of change. Artinya, Mahasiswa kerap kali dijadikan sebagai
simbol perubahan. Begitulah idealnya. Perlu teman, sobat (dan siapa saja yang
membaca tulisan ini) ketahui bahwa idealita sering bahkan hamper selalu
berbenturan dengan realita. Ya seperti harapan yang selalu berlawanan dengan
kenyataan, begitulah kondisi Mahasiswa sekarang.
Mahasiswa sekarang sudah terkotak-kotak. Tidak
hanya sekarang sih, dulu juga. Tapi skala dahulu dengan sekarang berbeda. Dulu
mereka akan bersatu karena sama-sama memiliki musuh yang sama yaitu
ketidakadilan. Mereka akan sama-sama turun ke jalan untuk memperjuangkan nasib
bangsa. Sementara sekarang, boro-boro nasib bangsa, Mahasiswa lebih suka ribut
sesamanya. Bener gak?
Beda daerah mungkin berbeda pula titik
masalahnya. Kalau di kampus saya (IAIN Ar-Raniry) maka kekuasaan adalah titik
sacral permasalahan Mahasiswa. Tak heran jika politik kampus terkadang
mengalahi politik praktis. Anda tahu mengapa Politisi adalah makhluk yang
paling amoral? Apakah kita sadar mengapa korupsi di negeri ini tak akan
terbasmi? Itu karena Politisi sekarang adalah Mahasiswa dulunya. Itu karena
korupsi yang terpraktekkan sejak di Lembaga Mahasiswa. Ada yang salah dari
sistem pendidikan kita. Pembentukan karakter yang diharap tapi pembunuhan
karakter yang terjadi. Menurut saya dan ini karena saya melihat fenomena kampus
saya, maka kekuasaanlah yang mereka cari.
Lalu apa hubungan antara kekuasaan dengan
terkotak-kotaknya Mahasiswa? Wow, masih belum nyambung juga rupanya. He he he.
Canda kok ! ! gene lho sobat. Untuk merebut kekuasaan maka dibutuhkan kekuatan
massa. Dalam sistem demokrasi tentu kuantitas menjadi andalan. Pada tataran
ini, menurut saya tiada masalah. Tapi, professional dunk. Kita harus bisa
menempatkan diri sesuai dengan bumi yang kita pijak. Ketika kita sedang merebut
kursi no 1 di IAIN misalnya, maka semestinya kita harus menjadi Mahasiswa IAIN.
Tapi yang terjadi adalah, Indonesia memilih presiden eh malah Amerika yang
sibuk ingin maju.
Hal ini sering terjangkit ditubuh kader-kader
HMI dan KAMMI (Karena pertikaian dua Organisasi Ekstra ini yang muncul di
kampusku). Yang jika kita rujuk kepada nilai dasar perjuangan masing-masing
lembaga ekstra ini, maka kita tidak akan menemukan bahwa organisasi ini
mengajarkan kebodohan, kebobrokan dsb. HMI misalnya yang sangat menekankan
kepada kadernya sifat indepedensi kader mestilah dijunjung tinggi dan dihargai.
Tapi faktanya, jika seorang kader tak memilih calon yang diusung dari HMI, maka
kader yang menjalankan NDP HMI sesuai kapasitas kelimuannya ini tentu akan
terkucilkan.
Yang paling lucu dan menggelitik saya adalah,
ketika HMI menyebarkan isu (terlepas dari benar dan salahnya) bahwa KAMMI
antek-anteknya PKS, dan bahwa membawa Parpol masuk ke dalam kampus dianggap
perbuatan yang salah, tapi HMI sendiri ikut campur dalam urusan Intra Kampus.
HMI akan sibuk membicarakan siapa kader yang mereka usung ketimbang harus
membicarakan bagaimana indepedensi kader mesti dijaga dan harus tetap tertanam
kokoh di tubuh kader. Apa urusan HMI dengan pemilihan Presiden IAIN? Apa urusan
KAMMI dengan Pemilihan Gubernur Fakultas? Dan apa urusan Parpol masuk ke
kampus? Ketidakprofesionalan Mahasiswa ini menjadikan Mahasiswa kian terpecah
dan terkurung di dalam kotak mereka masing-masing.
Jika kita ingin suatu perubahan terwujud,
problem ini kiranya menjadi kesadaran Mahasiswa secara keseluruhan. Sehingga
ketika terjadi pesta demokrasi di kampus mereka bersatu dank omit bahwa mereka
akan memilih Presiden IAIN dan bukan Presiden HMI dan atau KAMMI. Jika
kesadaran ini sudah muncul, maka Mahasiswa akan mampu eksis bahkan ketika
mereka tidak sedang bersama kelompoknya. Tidak salah mengikuti organisasi
ekstra. Tapi harus bisa menempatkan diri kapan kita sebagai kader di Organisasi
Ekstra dan kapan kita sebagai Mahasiswa di Lembaga Intra Kampus.
Mungkin kau akan mengiraku mengada. Bukalah
mata, maka tulisan ini bukanlah opini belaka. Tulisan ini berangkat dari
realita Mahasiswa. Dan sebagai bagian
dari Mahasiswa, hal miris ini seharusnya
tak terjadi di kalangan Mahasiswa. Karena jika Mahasiswa pun terpecah, akankah
ada kekuatan melawan kebathilan? Demikian dan mohon maaf jika tak berkenan.